Proyek P3TGAI di Desa Klampisan Digoyang Dugaan Korupsi dan Manipulasi Laporan, Kepala Desa Beri Pernyataan Tegas

bidikkasusonline
0

 



Kediri, Jawa Timur,  bidikkasusonline   – Dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI) di Desa Klampisan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, kini makin memanas dan menjadi sorotan publik. Investigasi yang dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengaduan Pembangunan Nasional – NKRI (LP3-NKRI) mengindikasikan adanya praktik manipulasi dan rekayasa laporan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dana bantuan yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga ratusan juta rupiah.

Program P3TGAI yang digagas oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini merupakan program padat karya tunai yang bertujuan meningkatkan sistem irigasi dengan memberdayakan masyarakat petani melalui mekanisme swakelola yang transparan dan akuntabel. Di Desa Klampisan, kelompok petani yang tergabung dalam Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) mendapat dana bantuan sebesar Rp 195 juta dalam dua tahap langsung dari kas negara melalui rekening resmi.

Namun, setelah pekerjaan dinyatakan selesai, muncul kejanggalan dalam laporan SPJ yang disampaikan kepada Satuan Kerja P3TGAI di Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) provinsi. LP3-NKRI mendapati indikasi kuat bahwa laporan tersebut dibuat tidak sesuai kenyataan, melainkan hasil rekayasa kolaboratif antara oknum perangkat desa, Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM), dan Ketua GP3A setempat.

Menurut temuan investigasi, laporan SPJ yang dikirimkan terkesan memenuhi prosedur sesuai Permen PUPR No. 4 Tahun 2021 tentang P3TGAI, namun kenyataannya pekerjaan tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan. Ini menunjukkan adanya upaya pemalsuan dokumen demi menutupi penyimpangan.

Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Klampisan memberikan pernyataan yang sangat tegas namun kontroversial:

“Semua proses dan pelaksanaan sudah sesuai prosedur BBWS. Jika ada pihak yang merasa ada yang salah, silakan tempuh jalur hukum yang berlaku. Kami siap diproses jika terbukti melakukan kesalahan.”

Namun pernyataan ini justru menimbulkan pro dan kontra. Kepala Desa dan Ketua HIPPA yang juga mengelola program ini disebut-sebut sering menggunakan istilah “aspirator” dalam konteks yang tidak jelas, menimbulkan keraguan tentang pemahaman mereka terhadap mekanisme program.

Dalam ranah hukum, dugaan rekayasa laporan ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan pemalsuan dokumen yang diatur dalam:

  • Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam pelaku dengan hukuman pidana penjara paling singkat 4 tahun hingga seumur hidup serta denda minimal Rp200 juta apabila merugikan keuangan negara.

  • Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, yang mengatur ancaman pidana penjara hingga 6 tahun bagi pelaku.

LP3-NKRI mendesak agar Balai Besar Wilayah Sungai segera melakukan evaluasi menyeluruh dan audit terhadap proyek tersebut. Selain itu, Aparat Penegak Hukum (APH) harus mengusut tuntas dugaan praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan dana bantuan ini.

“Kami mendorong aparat hukum untuk menindak tegas oknum-oknum yang mencoba mengambil keuntungan pribadi dari program yang semestinya membantu masyarakat petani,” ujar perwakilan LP3-NKRI.

Kasus ini menjadi perhatian serius karena selain berpotensi merugikan keuangan negara, juga mengancam keberlangsungan program strategis nasional yang sangat penting bagi ketahanan pangan dan perekonomian masyarakat.

Kepala Desa menegaskan kembali:

“Silakan proses hukum dilakukan jika memang ditemukan pelanggaran. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.”

LP3-NKRI juga mengimbau kepada masyarakat untuk aktif mengawasi pelaksanaan program pembangunan agar tidak terjadi penyimpangan serupa di masa depan.(RED.TIM)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)